Kamis, 31 Januari 2013

Polisi Tidak berhak menilang karena telat bayar pajak Motor


dari berbagai sumber yg gw baca, termasuk peraturan Lalu Lintas UU No.22 Tahun 2009 juga tidak menyebutkan tentang penilangan karena telat pajak. polisi tuh gak berhak menilang apalagi pake acara nahan motor kita..., polisi tuh cuma wajib menegur kita utk bayar pajak. 
kalo tetep ngotot minta pd polisi tsb peraturannya ? pasal berapa ? suruh menunjukkan...klau ngak bisa jangan mau..!

soalnya telat bayar pajak itu sudah ada sanksi tersendiri yaitu denda...dan itu urusan dinas pendapatan daerah (dispenda)

ini kutipan dari web : kontan,

Menurut apa yang tertulis dalam Undang-Undang Lalulintas No.14 Tahun 1992 itu, polisi hanya boleh menilang pelanggaran yang bersangkutan dengan kelengkapan kendaraan. “Misalnya, lengkap surat-menyuratnya (SIM dan STNK), ada lampunya, lalu lampu sein menyala, dan seterusnya,” tutur Iwan.

Berdasarkan aturan itu juga, cuma polisi yang berhak mengambil tindakan terhadap pelanggaran yang terjadi di jalanan.

Eh, ini urusan Dispenda

Setelah Undang-undang itu dilaksanakan, ada instruksi bersama antara Menhankam, Mendagri, dan Menkeu tentang Sistem Administrasi Negara di Bawah Satu Atap. Kesepakatan inilah yang berkaitan dengan pajak kendaraan. Kesepakatan yang terjadi pada tahun 1990 itu masih berlaku sampai sekarang. “Jadi, polisi secara resmi terlibat, tapi dengan semangat mengamankan pendapatan Negara,” ujar Iwan lagi.

Meski begitu, selama menyangkut pajak kendaraan, polisi hanya berwenang menghentikan kendaraan dan menanyakan status pajak. Jika ternyata memang belum membayar pajak, polisi hanya boleh mencatat surat kendaraan. “Data tersebut diserahkan kepada Dispenda setempat,” kata Rahmat Ahyar, Wakil Kepala Dispenda DKI Jakarta.

Bisakah polisi menilang gara-gara soal pajak ini? “Kalau mengikuti undang-undang sebenarnya tidak bisa. Soal pajak itu urusannya Dispenda,” kata Iwan. Berkaitan dengan soal pajak ini, polisi tidak bisa menyita STNK atau SIM, apalagi hingga menahan mobil atau motor yang dimaksud.

Hal ini dibenarkan oleh Direktur Lalulintas Polda Metro Jaya, Djoko Susilo. “Masalah pajak bukan urusan polisi, tapi Dispenda. Kalau masalah pajak polisi enggak berhak menilang,” kata Djoko.

Bahkan, seandainya pembayar pajak yang telat ini pas kena razia di jalanan umum, polisi tetap tidak bisa berbuat apa-apa. “Kalau semua surat lengkap dan gak ada masalah, ya, enggak bisa ditilang,” ucapnya.

Jika si polisi tetap mengambil tindakan menilang, Djoko menyarankan agar si pengendara mengajukan komplain secara resmi. Pengendara bisa mencatat nama polisi yang tertera di seragam dan melaporkan kepada yang berwenang.

mengenai surat tilang:

saat menilang, polisi memiliki dua kertas: biru dan merah. Warna biru artinya pengendara mengakui kesalahan, sedangkan merah berarti pengendara tidak mengakui kesalahan Konsekuensinya pun berbeda. “Kalau yang merah untuk pengadilan. Yang biru untuk ke bank,” kata Djoko Susilo, Direktur Lalulintas Polda Metro Jaya.

Kalau Agan memilih warna biru, proses yang akan dilalui mudah. Yakni, datang ke bank dan membayar denda sesuai ketentuan. “Ada daftar jenis pelanggaran dan dendanya,”

Dengan bukti pembayaran dari bank, agan bisa mengambil surat yang disita polisi. Walhasil, Agan pun bisa mengirit waktu.

Sementara, kalau berkas merah yang dipilih, Agan harus datang ke pengadilan. Hanya saja, di pengadilan, Agan boleh membayar di bawah ketentuan denda jika sedang bokek. “Kalau lewat pengadilan bisa kurang”

Update

UU & Denda khusus Kendaraan Roda Dua

1. Motor harus lengkap nomor polisi. Hilang satu kena Pasal 280. Bunyinya (diringkas), orang, yang mengendarai motor tidak dipasangi tanda nomor (pelat nomor) yang ditentukan polisi sebagaimana yang dimaksud Pasal 68 ayat1, dipidana kurungan 2 bulan atau denda paling banyak Rp 500.000

2. Punya SIM. Nekat berkendara tanpa mengantongi surat izin mengemudi (SIM) (sesuai Pasal 281) dikenakan Pasal 77 ayat 1 dipidana kurungan paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp.1 juta.

3. Jangan SMS atau telepon saat berkendara, mabok, dan lainnya. Itu mengganggu konsentrasi pengendara. Pasal 283 siap menjerat dengan bunyi: Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor secara tidak wajar dan melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di jalan sebagai diatur dalam Pasal 106 ayat 1 dipidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda Rp 750.000.

4. Jalan di trotoar. Pasal 106 ayat 2 akan menjerat dengan hukuman berupa kurungan 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp 500.000 karena dalam pasal tersebut jelas disebutkan, Anda tidak mengutamakan keselamatan pejalan kaki atau pesepeda kala mengemudikan kendaraan bermotor.

5. Standar motor tak lengkap. Perhatikan kaca spion, lampu utama, rem, penunjuk arah, pengukur kecepatan, knalpot, dan kedalaman alur ban. Bila tidak memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan, maka sebagaimana dimaksud Pasal 106 ayat 3 juncto Pasal 48 ayat 2 dan ayat 3, (pelanggar) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp 250.000.

6. Marka jalan. Simak Pasal 287. Yang melanggar aturan perintah atau larangan yang dinyatakan dengan rambu lalu lintas sebagaimana dimaksud Pasal 106 ayat 4 huruf a atau marka jalan (Pasal 106 ayat 4 huruf b) dipidana dengan pidana kurungan 2 (dua) bulan atau denda palilng banyak Rp 500.000.

7. Helm harus logo SNI. Pakai helm "cetok" atau helm proyek bakal diadang Pasal 106 ayat (8), yaitu dipidana dengan pidana kurungan a (satu) bulan atau denda paling banyak Rp 250.000. Helm harus memenuhi standar SNI.

8. Boncengan tiga atau lebih. Mengangkut penumpang lebih dari satu, sebagaimana disebut dalam Pasal 106 ayat 9, dipidana dengan pidana kurungan 1 (satu) bulan atan denda paling banyak Rp 250.000.

9. Balap liar. Yang suka kebut-kebutan, apalagi balap liar sebagaimana disebutkan Pasal 115 huruf b, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 3 juta.

10. Menerobos palang pintu kereta api. Bagi yang menerobos lintasan rel kereta, sementara palang pintu sudah ditutup dan sinyal sudah bunyi, Pasal 114 siap menjerat mereka dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp 750.000.

[COLOR="Blue"]Penyelewengan Tugas Kepolisian[/COLOR]

Dalam melaksanakan tugasnya, Petugas Kepolisian dianggap menyeleweng bila:

1.Tindakan petugas menghentikan kendaraan bermotor untuk dilakukan pemeriksaan tanpa ada dasar yang jelas, seperti pelanggaran yang tertangkap tangan, atau pelaksanaan operasi kepolisian.
2. Meminta atau menerima denda terhadap pelanggaran lalu lintas tanpa memberikan surat tilang.
3. Menilang atau menyita kendaraan tanpa dasar yang jelas, seperti menilang atau menyita kendaraan karena telat bayar pajak atau telat registrasi ulang STNK, masih dalam waktu kurang dari 2 (dua) tahun setelah habis masa berlaku STNK.
sumber: zona Facebookers

Kamis, 18 Oktober 2012

secerca tentang penegakkan syariat islam di Aceh

Dalam sejarah Aceh, tersebutlah nama Ali Mughayat Syah (1514-1530). Ia merupakan sultan Aceh pertama yang memproklamirkan Kerajaan Islam Aceh Darussalam pada 1 Ramadhan 1521 Masehi. Visi utamanya adalah menyatukan kerajaan-kerajaan kecil seperti Peureulak, Samudera Pasai, Pedir, Lamuri, dan Meureuhom Daya, menjadi kerajaan besar yang ia namakan Kerajaan Islam Aceh Darussalam.

Tanggal tersebut kemudian dikenang sebagai tanggal deklarasi pemberlakuan syariat Islam di Aceh. Tapi masuknya Belanda pada 1873 disusul Jepang pada 1942 menyebabkan pemberlakukan syariat Islam di Aceh tak bisa lagi dilaksankan secara kafah. Para kolonialis tersebut mengobok-obok pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Hukuman dera sampai mati yang sedianya diterapkan kepada para penzina atau pembunuh, diubah penguasa asing itu dengan hukuman buang, sehingga terjadi anomali dalam penerapan syariat di Aceh.

Dalam pada itu, banyak pula ulama yang dibunuh, kitab-kitab berbau Islam dibakar, termasuk Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Hingga Belanda dan Jepang angkat kaki di Aceh, penerapan syariat Islam yang diberlakukan di sini adalah syariat yang sudah terkontaminasi oleh intervensi penjajah.

Sampai akhirnya, pada 1 Muharam 2001, Gubernur Aceh Abdullah Puteh meredeklarasikan pemberlakuan kembali syariat Islam secara kafah di Aceh.

Dasar hukum pelaksanaan syariat Islam di Aceh adalah UU Nomor 44 Tahun 1999 dan UU Nomot 18 Tahun 2001. Dalam UU Nomor 44 Syariat Islam didefinisikan sebagai semua aspek ajaran Islam. Dalam UU Nomor 18 disebutkan bahwa Mahkamah Syar’iyah akan melaksanakan syariat Islam yang dituangkan ke dalam qanun atau peraturan yang dibuat oleh pemerintah di Aceh untuk melaksanakan syariat Islam bagi pemeluknya di Aceh.

Selang setahun setelah redeklarasi Aceh penerapan syariat Islam di Aceh, Pemerintah Provinsi Aceh membentuk Dinas Syariat Islam. Dinas ini lahir pada tanggal 25 Januari 2002, bertepatan dengan saat dilantiknya Prof Dr Alyasa’ Abubakar MA memimpin DSI Aceh. Instansi ini dibentuk dengan Perda Nomor 33 Tahun 2001.

Dinas ini memiliki posisi sebagai perangkat daerah merupakan unsur pelaksana Syariat Islam di lingkungan pemerintah daerah. Dinas SI berperan untuk mewujudkan aktualisasi risalah Islam secara menyeluruh dan universal, yaitu membangun dan mewujudkan masyarakat Aceh yang taat kepada taat terhadap syariat Islam.

Tahun 2002 mulai diproduksi qanun-qanun syariat, di antaranya Qanun tentang Maisir, Khamar, dan Khalwat. Hingga kini, qanun inilah yang terus ditegakkan di tengah berbagai tantangan yang menghadang

Jumat, 12 Oktober 2012

mengenal suku baduy


cerita rakyat khususnya di wilayah Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak umumnya sewilayah Banten maka suku Baduy berasal dari 3 tempat sehingga baik dari cara berpakaian, penampilan serta sifatnyapun sangat berbeda 

I. Berasal dari Kerajaan Pajajaran / Bogor

Konon pada sekitar abad ke XI dan XII Kerajaan Pajajaran menguasai seluruh tanah Pasundan yakni dari Banten, Bogor, priangan samapai ke wilayah Cirebon, pada waktu itu yang menjadi Rajanya adalah PRABU BRAMAIYA MAISATANDRAMAN dengan gelar PRABU SILIWANGI.

Kemudian pada sekitar abad ke XV dengan masuknya ajaran Agama Islam yang dikembangkan oleh saudagar-saudagar Gujarat dari Saudi Arabia dan Wali Songo dalam hal ini adalah SUNAN GUNUNG JATI dari Cirebon, dari mulai Pantai Utara sampai ke selatan daerah Banten, sehingga kekuasaan Raja semakin terjepit dan rapuh dikarenakan rakyatnya banyak yang memasuki agama Islam. Akhirnya raja beserta senopati dan para ponggawa yang masih setia meninggalkan keraan masuk hutan belantara kearah selatan dan mengikuti Hulu sungai, mereka meninggalkan tempat asalnya dengan tekad seperti yang diucapkan pada pantun upacara Suku Baduy “ Jauh teu puguh nu dijugjug, leumpang teu puguhnu diteang , malipir dina gawir, nyalindung dina gunung, mending keneh lara jeung wiring tibatan kudu ngayonan perang jeung paduduluran nu saturunan atawa jeung baraya nu masih keneh sa wangatua”

Artinya : jauh tidak menentu yang tuju ( Jugjug ),berjalan tanpa ada tujuan, berjalan ditepi tebing, berlindung dibalik gunung, lebih baik malu dan hina dari pada harus berperang dengan sanak saudara ataupun keluarga yang masih satu turunan “

Keturunan ini yang sekarang bertempat tinggal di kampong Cibeo ( Baduy Dalam )

dengan cirri-ciri : berbaju putih hasil jaitan tangan ( baju sangsang ), ikat kepala putih, memakai sarung biru tua ( tenunan sendiri ) sampai di atas lutut, dan sipat penampilannya jarang bicara ( seperlunya ) tapir amah, kuat terhadap Hukum adat, tidak mudah terpengaruh, berpendirian kuat tapi bijaksana.

II. Berasal dari Banten Girang/Serang

Menurut cerita yang menjadi senopati di Banten pada waktu itu adalah putra dari Prabu Siliwangi yang bernama Prabu Seda dengan gelar Prabu Pucuk Umun setelah Cirebon dan sekitarnya dikuasai oleh Sunan Gunung Jati, maka beliau mengutus putranya yang bernama Sultan Hasanudin bersama para prajuritnya untuk mengembangkan agama Islam di wilayah Banten dan sekitarnya. Sehingga situasi di Banten Prabu Pucuk Umun bersama para ponggawa dan prajurutnya meninggalkan tahta di Banten memasuki hutan belantara dan menyelusuri sungai Ciujung sampai ke Hulu sungai , maka tempat ini mereka sebut Lembur Singkur Mandala Singkah yang maksudnya tempat yang sunyi untuk meninggalkan perang dan akhirnya tempat ini disebut GOA/ Panembahan Arca Domas yang sangat di keramatkan .

Keturunan ini yang kemudian menetap di kampung Cikeusik ( Baduy Dalam ) dengan Khas sama dengan di kampong Cikeusik yaitu : wataknya keras,acuh, sulit untuk diajak bicara ( hanya seperlunya ), kuat terhadap hukum Adat, tidak mudah menerima bantuan orang lain yang sifatnya pemberian, memakai baju putih ( blacu ) atau dari tenunan serat daun Pelah, iket kepala putih memakai sarung tenun biru tua ( diatas lutut ).

III. Berasala dari Suku Pangawinan ( campuran )

Yang dimaksud suku Pengawinan adalah dari percampuran suku-suku yang pada waktu itu ada yang berasal dari daerah Sumedang, priangan, Bogor, Cirebon juga dari Banten. Jadi kebanyakanmereka itu terdiri dari orang-orang yang melangggar adat sehingga oleh Prabu Siliwangi dan Prabu Pucuk Umun dibuang ke suatu daerah tertentu. Golongan inipun ikut terdesak oleh perkembangan agama Islam sehingga kabur terpencar kebeberapa daerah perkampungan tapi ada juga yang kabur kehutan belantara, sehingga ada yang tinggal di Guradog kecamatan Maja, ada yang terus menetap di kampong Cisungsang kecamatan Bayah, serta ada yang menetap di kampung Sobang dan kampong Citujah kecamatan Muncang, maka ditempat-tempat tersebut di atas masih ada kesamaan cirikhas tersendiri. Adapun sisanya sebagian lagi mereka terpencar mengikuti/menyusuri sungai Ciberang, Ciujung dan sungai Cisimeut yang masing-masing menuju ke hulu sungai, dan akhirnya golongan inilah yang menetap di 27 perkampungan di Baduy Panamping ( Baduy Luar ) desa Kanekes kecamatan Leuwidamar kabupaten Lebak dengan cirri-cirinya ; berpakaian serba hitam, ikat kepala batik biru tua, boleh bepergian dengan naik kendaraan, berladang berpindah-pindah, menjadi buruh tani, mudah diajak berbicara tapi masih tetap terpengaruh adanya hukum adat karena merekan masih harus patuh dan taat terhadap Hukum adat.

Dari suku Baduy panamping pada tahun 1978 oleh pemerintah diadakan proyek PKMT ( pemukiman kembali masyarakat terasing ) yang lokasinya di kampung Margaluyu dan Cipangembar desa Leuwidamar kecamatan Leuwidamar dan terus dikembangkan oleh pemerintah proyek ini di kampung Kopo I dan II, kampung Sukamulya dan kampung Sukatani desa Jalupangmulya kecamatan Leuwidamar .

Suku Baduy panamping yang telah dimukimkan inilah yang disebut Baduy Muslim, dikarenakan golongan ini telah memeluk agama Islam, bahkan ada yang sudah melaksanakan rukun Islam yang ke 5 yaitu memunaikan ibadah Haji.

Kini sebutan bagi suku Baduy terdiri dari :

1. Suku Baduy Dalam yang artinya suku Baduy yang berdomisili di Tiga Tangtu ( Kepuunan ) yakni Cibeo, Cikeusik dan Cikertawana.

2. Suku Baduy Panamping artinya suku Baduy yang bedomisili di luar Tangtu yang menempati di 27 kampung di desa Kanekes yang masih terikatoleh Hukum adat dibawah pimpinan Puuun ( kepala adat ).

3. Suku Baduy Muslim yaitu suku Baduy yang telah dimukimkan dan telah mengikuti ajaran agama Islam dan prilakunya telah mulai mengikuti masyarakat luar serta sudah tidak mengikuti Hukum adat.

Adapun sebutan siku Baduy menurut cerita adalah asalnya dari kata Badui, yakni sebutan dari golongan/ kaum Islam yang maksudnya karena suku itu tidak mau mengikuti dan taat kepada ajaran agama Islam, sedangkan disaudi Arabia golongan yang seperti itu disebut Badui maksudnya golongan yang membangkang tidak mau tunduk dan sulit di atur sehingga dari sebutan Badui inilah menjadi sebutan Suku Baduy.


http://perpustakaan.untirta.ac.id/berita-112-asal-usul-suku-baduy.html
http://id.shvoong.com/social-sciences/1925540-asal-usul-suku-baduy/#ixzz1YW1H1VZT
 

Kamis, 11 Oktober 2012

Indonesia “tanpa” Aceh ( akankah ketidakadilan akan terus membelenggu)

MASIH pantaskah negeri kita disebut Indonesia tanpa Aceh? Pertanyaan ini mencuat ke permukaan kesadaran kita karena sejarah menunjukkan bahwa masyarakat Aceh-dengan segala daya hidup dan dinamika yang dimilikinya-adalah investor persatuan Nusantara sedari dulu. Sejak interaksi berbagai suku bangsa melalui perdagangan, nun di masa lampau, Samudera Pasai telah menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi untuk memperluas persaudaraannya di kepulauan Nusantara. Kerajaan Islam yang pertama ini pulalah yang kemudian menyumbangkan sedikitnya tiga di antara sembilan Wali Songo di tanah Jawa. Di Aceh pula, kolonial tak berhasil mencengkeramkan kukunya. Kuta Raja, Banda Aceh sekarang, adalah kota yang menggemaskan gubernur jenderal di Batavia karena tidak tertaklukkan.

Pada masa perjuangan kemerdekaan, ulama-ulama Aceh, yang merupakan representasi masyarakat Aceh secara keseluruhan, menyatakan secara bersama bahwa Aceh merupakan bagian dari Republik Indonesia, dan karena itulah Aceh merupakan salah satu provinsi negeri ini dengan catatan sebagai daerah istimewa. Memasuki era Indonesia merdeka, putra-putra Aceh pulalah yang pertama kali menyumbangkan pesawat Seulawah bagi Republik. Ini dimaksudkan sebagai ungkapan rasa hormat dan kebanggaan terhadap pemimpin di negeri ini.

Pada awal era itu juga, sebuah nama mencuat dan jadi simbol kejuangan rakyat Aceh, Teungku Daud Beureueh. Ia angkat suara dengan lantang menentang Jakarta yang menurut mereka telah mengabaikan hak-hak dan aspirasi masyarakat Aceh. Bung Karno, selaku Presiden Republik Indonesia, dengan penuh kehangatan menyapanya dengan panggilan Abu Daud (Bapak Daud). Ia datang berhadapan langsung dan berunding dengan sang Abu Daud, di Kamar No. 1 Hotel Aceh, di dekat Masjid Baiturrahman. Bung Karno dengan karisma dan wibawanya, tanpa merasa sungkan, meminta dan merangkul Daud Beureueh dengan sepenuh hati, untuk kembali ke pangkuan Republik. Abu Daud menerima rangkulan keakraban Presiden dan serta-merta memerintahkan pasukannya turun gunung dan bergabung kembali dalam pangkuan Ibu Pertiwi. Sayang, hotel bersejarah itu telah berganti menjadi Hotel Novotel, dan peristiwa bersejarah yang dapat dijadikan teladan itu terlupakan begitu saja.

---

Tragedi, Inilah sebuah kata. Dalam begitu banyak peristiwa, di suatu tempat dan tempat yang lain, pada suatu waktu dan waktu yang lain pula, dalam simpul-simpul pengalaman keindonesiaan kita, perkataan itu semakin sering muncul di permukaan lembaran sejarah negara kebangsaan yang usianya sudah menjelang 58 tahun ini. Kata itu bisa hadir mewakili sebuah bab yang mungkin tak lengkap, menjadi bagian dari sejumlah bab yang terus semakin tebal dalam tumpukan catatan nasib rakyat dan masyarakat kita sebagai sebuah bangsa.

Bertatapan dengan tumpukan catatan seperti itu, yang di antaranya sulit dibaca, mungkin kurang obyektif dan belum sempat dikoreksi serta cacat-cacat lainnya, terasa, alangkah sepinya yang bernama sejarah. Dan dalam sepi itu pula tragedi semakin akrab; bukan lagi sebagai sebuah kata, tetapi sebagai representasi dari sejumlah pengalaman getir yang terus-menerus mengusik hati nurani.

Cerita suram, sesudah Aceh dijadikan daerah operasi militer (DOM) di masa yang lalu, akankah terulang saat ini? Sewaktu bertemu dengan almarhum Teungku Syafe'i, saya menyaksikan penderitaan batin yang teramat dalam yang dialami saudara-saudara kita di Aceh. Perjumpaan yang sesungguhnya dalam kapasitas pribadi, namun sebagai salah seorang pejabat resmi, saya berpendapat sesungguhnya "ketidakadilan"-lah yang menyulut bara api itu.

Rakyat Aceh, sebagaimana rakyat kita di seluruh pelosok negeri, sudah tak mampu lagi menanggung kesengsaraan yang berkepanjangan. Kekayaan alamnya dikuras, sementara para ahli waris Uleebalang, yang hanya sukses memenuhi kepentingannya dengan mengatasnamakan rakyat Aceh di hadapan pemerintah pusat, menikmati kemewahan yang tak alang kepalang. Teungku Hasan di Tiro sendiri menetap di Swedia, sebagai warga negara dari sebuah negeri yang aman tenteram, jauh dari negeri tempat rakyat Aceh hidup dalam segala kesengsaraannya.

Sementara itu, ia tanpa merasa berat hati melampiaskan dendam nostalgiknya, mengenang semasa ia naik gunung melawan Jakarta bersama Abu Daud. Dari kejauhan dan dengan hidupnya yang bergelimang kemewahan, ia mendaulat dirinya sendiri sebagai pemimpin sebuah negeri atas nama GAM di pengasingan dan melakukan diplomasi internasional. Sedangkan rakyat yang diwakilinya bergelimang kegetiran hidup yang pahit lagi menyakitkan.

Kisah tragedi di Aceh, rentang waktunya sudah sangat panjang. Watak kultural masyarakat yang sama sekali tidak pernah bisa "menerima" terhadap hal-hal yang melukai atau mengusik kebanggaan mereka, merupakan suatu penyebab sering munculnya konflik dengan pemerintah pusat. Tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa sudah sangat lama mereka merasa diperlakukan seperti "anak tiri"; hak-hak mereka untuk menikmati kemakmuran dan keadilan terabaikan. Padahal mereka adalah putra yang sah dari sejarah terbentuknya negara kebangsaan Indonesia yang bersatu. Namun itu pun terabaikan. Perjuangan untuk mewujudkan aspirasi mereka yang selalu gagal, bergeser menjadi konflik politik yang kian lama kian panas dan berkembang menjadi keruwetan yang berkepanjangan.

Betapa sulitnya menjadi rakyat Aceh saat itu untuk bisa hidup secara wajar di negerinya sendiri. Pluralitas suku bangsa kita sebagai penopang negeri yang besar ini masih tak terarifi sebagaimana mestinya. Menjadi orang Aceh berarti harus berpihak pada GAM atau TNI. Apakah memang mestinya begini? Kepanikan dan nyaris gelap mata. Itulah yang kita saksikan hari-hari ini, saat pemimpin kita kembali mencari jalan penyelesaian Aceh dengan resep tunggal, yakni dengan mengirimkan pasukan besar-besaran untuk menumpas GAM. Sementara hati rakyat Aceh, siapakah yang peduli ke arah mana mereka berpihak. Bagaimana kalau mereka tak mampu berpihak? Sebagai saudara sendiri, sulit saya membayangkan bagaimana kita harus mengamputasi bahagian tubuh kita sendiri.

Kolom ini tidak akan mampu mengungkapkan bagaimana nasib yang dialami rakyat dan masyarakat dalam berbagai tragedi itu secara runtut satu demi satu. Sebab itu tak mungkin. Tapi, sebagai ilustrasi, ada nukilan penting pada lambang negara kita yang dalam situasi dan kondisi kita sekarang ini dapat dibaca ulang, yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Nukilan ini tentu saja bukan sekadar warisan. Bukan pula sebuah amanat dari suatu masa yang hanya berlaku untuk masa ketika founding fathers republik ini masih hidup. Nukilan itu, yang kini tampak bercahaya pada lambang negara kita yang ekspresinya secara artistik tampak kian sempurna, adalah sebuah ungkapan yang setiap dipikirkan akan semakin memperjelas makna serta maksud dan tujuannya.

Bersatunya kita sebagai bangsa adalah sebuah ihwal kesejarahan yang lahir dari suatu hal kesejarahan yang lain, yang exist lebih awal, yaitu kenyataan masyarakat bangsa yang pluralistik sifatnya. Seumpama anak dan orang tua, bersatunya kita sebagai bangsa adalah anak yang dilahirkan oleh pluralitas masyarakat kita sendiri; anak yang dilahirkan oleh indahnya cinta dan kerukunan. Cultural capital yang kita miliki untuk tetap bersatu adalah kerukunan. Kerukunan itu pula yang mengkondisikan kedamaian di tengah perbedaan dan keberagaman. Anak tak bisa ingkar terhadap orang tuanya kecuali ia adalah anak durhaka. Begitu pula sebaliknya.

Tragedi terjadi, mungkin bukan karena sebab yang tunggal. Itu lumrah. Namun adalah logis bila cultural capital itu terabaikan dan kerukunan berganti dengan sesuatu yang lain atau yang sebaliknya, maka bencana bisa lebih dekat dibandingkan dengan saudara sendiri. Sesuatu yang lain itu maksudnya yang tidak berakar pada nilai-nilai pemersatu dalam pluralitas. Misalnya, kompetisi antarkepentingan yang berbeda-beda. Bila potensi konflik seperti yang terakhir ini tidak diimbangi dengan nilai-nilai yang potensial sebagai pemersatu-sebagaimana yang selalu terjadi dalam persaingan kepentingan politik dan ekonomi atau keduanya sekaligus-tragedi pun segera tiba. Kita semua sudah sangat sering mengalaminya.

Gemas, itulah mungkin kata yang tepat, pada saat kita saksikan ada gerakan bersenjata yang berniat memisahkan diri. Tetapi hal ini tentu tak jalan sendiri. Etnonasionalisme yang seakan eksis melalui GAM, sama halnya dengan Papua dan Maluku, berpangkal pada ketidakadilan yang telah lama dipraktekkan Jakarta. Dari kekayaan alamnya di perut bumi dan emas hijaunya yang melimpah, sangat kecil yang bisa dinikmati rakyat Aceh, dibandingkan dengan apa yang bisa dinikmati segelintir orang Aceh menak dan Jakarta di satu pihak serta kepentingan asing di lain pihak. Kegundahan kita kian membuncah manakala, sebagai rakyat biasa, kita kembali menyaksikan saudara-saudara kita di Aceh harus kembali menjadi pengungsi di negerinya sendiri. Dan luka lama belum lagi terobati.

---

Di samping kerukunan, bersatunya kita sebagai bangsa selalu disemangati oleh berbagai harapan seperti yang selalu dijanjikan terutama oleh negara. Cerita tentang nasib yang bernama harapan ini sudah tak asing lagi. Nasibnya sama dengan yang merundungi rakyat dan masyarakat Aceh selama setengah abad terakhir dari sejarah kemerdekaan kita. Apakah harapan dan impian masyarakat Aceh? Yang utama adalah harapan untuk menikmati hasil pembangunan berupa kemakmuran dan kesejahteraan, atau, dalam idiom Pancasila, keadilan sosial. Juga kehidupan berbudaya dan berkeadaban, ketika harkat dan martabat mereka selalu terjaga.

Masalah pokok atau inti persoalan rakyat dan masyarakat Aceh berada di sekitar harapan dan impian tersebut. Dengan ini, fokus penyelesaian tragedi Aceh menjadi jelas. Suatu paket "operasi terpadu" untuk menjaga kelangsungan proses penyelesaian tersebut perlu diciptakan dan diselenggarakan dengan komitmen penuh ketulusan. Harus ada reward bagi yang berhasil dan punishment bagi yang curang. Masalah yang selalu krusial dan sangat ruwet bukanlah masalah rakyat dan masyarakat Aceh yang "menagih janji" dari pemerintah pusat.

Masalahnya, kalangan elite Aceh (bukan hanya GAM) yang menyeret persoalan masyarakat dan rakyat Aceh ke wilayah politik untuk tujuan kepentingan mereka sendiri. Benang kusutnya ada di sini. Di tengah satu bangsa yang begini besar, pasti ada orang-orang yang mampu mengurainya, dengan penuh ketulusan. Tampaknya kita harus berani memikirkan yang selama ini belum terpikirkan, melakukan yang belum pernah dilakukan, termasuk terhadap diri kita sendiri.


Bila senjata telah berdentaman, upaya apa lagikah yang dapat dilakukan? Dari wajah-wajah korban yang mati, pesan apakah yang terbaca buat yang tinggal? Kita harus mampu membacanya. Kenapa mereka harus mati? Untuk apa? Untuk siapa? Dari garis batas impian dan harapan, di bawah langit muram kekecewaan, selalu ada yang dapat diupayakan untuk sesuatu yang lebih baik.


Rakyat Aceh mungkin akan memaafkan segala kesalahan itu dengan segenap ketulusan, Namun mereka takkan pernah bisa melupakannya, Inilah sejarah yang akan terus di ceritakan kepada anak cucu mereka kelak. Inilah sebuah keyakinan. Bila keyakinan ini menjadi milik bersama, untuk kiprah bersama pula, akan terasa bahwa kedamaian yang didambakan itu begitu dekat. Dan pada saatnya, senjata pasti akan berhenti berdentam. Membisu seperti orang-orang mati. Ketika hati berpaling dari yang bernama kekerasan.

Penulis Bondan Gunawan S. 

Read more: http://www.atjehcyber.net/2011/07/indonesia-tanpa-aceh.html#ixzz28yGeumym

Rabu, 19 September 2012

Yang membuat kopi atjeh lebih nikmat

ABAD XVII, seorang berkebangsaan Belanda membawa kopi arabika ke Batavia, kini Jakarta. Lambat laun, ketika Belanda menguasai Aceh, kopi itu sampai juga ke ujung utara Pulau Sumatra/ dengan jenis yang makin beragam.



Tumbuh dari tanah Nanggroe yang subur, dipadu cuaca yang mendukung, menjadikan tanaman kopi Aceh berkembang menjadi komoditas yang bermutu dan tentu menguntungkan. Apalagi kemudian, prosesnya sejak penggilingan hingga disaring menjadi secangkir minuman dengan cara yang khas, kopi Aceh menjelma sebagai ikon.

Aroma kopi Aceh sudah sejak lama terkenal di Indonesia, mungkin pula di dunia. Aceh adalah salah satu penghasil kopi terbesar di negeri kepulauan ini. Tanah Aceh menghasilkan sekitar 40 % biji kopi jenis Arabica tingkat premium dari total panen kopi di Indonesia. Dan Indonesia merupakan pengekspor biji kopi terbesar keempat di dunia. Memang kedahsyatan kopi Aceh ini sudah melegenda bahkan pasca tsunami, kopi Aceh semakin mendunia berkat banyaknya penikmat kopi dari para pekerja internasional yang datang untuk merekonstruksi Aceh.

Biji kopi terbaik di Aceh umumnya berasal dari Lamno. Biji kopi Aceh biasanya di-oven selama 4 jam untuk menghasilkan mutu terbaik. Setelah mencapai kematangan 80 % barulah dimasukkan gula dan mentega. Kemudian biji kopi yang telah masak digiling sampai halus. Yang khas dari Kopi Aceh adalah aromanya yang kuat, cita rasanya yang bersih dan tidak asam, serta efeknya yang mantap!
Yang membuat kopi Aceh lebih menarik adalah cara penyajiannya yang khas, dan sedikit berbeda dengan cara penyajian di warung-warung kopi di wilayah lain di Indonesia. Kopi diseduh, dan seduhan kopi disaring berulang kali dengan saringan dari kain yang bentuknya mirip kaus kaki, lalu menuangkan kopi itu berpindah-pindah dari satu ceret ke ceret yang lain. Hasilnya adalah kopi yang sangat pekat, harum, tetapi tidak mengandung bubuk kopi karena sudah tersaring di dalam “kaus kaki” tadi. Berbeda dengan kopi hitam di banyak daerah lain yang masih menyisakan ampasnya.
Menikmati kopi Aceh bukan hanya menikmati rasanya, tetapi juga tradisi budaya. Di Aceh, kedai kopi merupakan tempat berkumpul, bertemu dan membicarakan segala topik. Bagi orang Aceh mengunjungi kedai kopi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari aktifitas sehari-hari. Sambil menikmati kopi, mereka bersosialisasi dan menjalin silaturahmi. ” Semua masalah pasti bisa selesai di warung kopi”, begitu kata orang aceh.
Berdasarkan jenisnya, kopi bisa dikelompokkan menjadi 2 (dua) jenis, kopi Arabica dan Robusta. Berikut perbedaan kopi Arabica dan Robusta:
Tabel perbedaan antara kopi Arabica dan Robusta

ARABICA ROBUSTA
Tahun ditemukan 1753 1895
Kromosom (2n) 44 22
Waktu dari berbunga sampai berbuah 9 bulan 10-11 bulan
Berbunga setelah hujan tidak tetap
Buah matang jatuh di pohon
Produksi (kg/ha) 1500-3000 2300-4000
Akar dalam Dangkal
Temperatur optimal (rata2 /tahun) 15-24° C 24-30° C
Curah hujan optimal 1500-2000 mm 2000-3000 mm
Pertumbuhan maksimum 1000-2000 m 0-700 m
Kandungan kafein 0,8-1,4% 1,7-4,0%
Bentuk biji datar Oval
Karakter rebusan asam Pahit

Saat ini di Aceh terdapat dua jenis kopi yang dibudidayakan adalah kopi Arabica dan kopi Robusta. Dua jenis kopi Aceh yang sangat terkenal yaitu kopi Gayo (Arabica) dan kopi Ulee Kareeng (Robusta). Untuk kopi jenis Arabica umumnya dibudidayakan di wilayah dataran tinggi “Tanah Gayo”, Aceh Tenggara, dan Gayo Lues, sedangkan di Kabupaten Pidie (terutama wilayah Tangse dan Geumpang) dan Aceh Barat lebih dominan dikembangkan oleh masyarakat disini berupa kopi jenis Robusta. Kopi Arabica agak besar dan berwarna hijau gelap, daunnya berbentuk oval, tinggi pohon mencapai tujuh meter. Namun di perkebunan kopi, tinggi pohon ini dijaga agar berkisar 2-3 meter. Tujuannya agar mudah saat di panen. Pohon Kopi Arabica mulai memproduksi buah pertamanya dalam tiga tahun. Lazimnya dahan tumbuh dari batang dengan panjang sekitar 15 cm. Dedaunan yang diatas lebih muda warnanya karena sinar matahari sedangkan dibawahnya lebih gelap. Tiap batang menampung 10-15 rangkaian bunga kecil yang akan menjadi buah kopi. Dari proses inilah kemudian muncul buah kopi disebut cherry, berbentuk oval, dua buah berdampingan.
Kopi Gayo merupakan salah satu komoditi unggulan yang berasal dari Dataran Tinggi Gayo. Perkebunan Kopi yang telah dikembangkan sejak tahun 1908 ini tumbuh subur di Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah. Kedua daerah yang berada di ketinggian 1200 m dari permukaan laut tersebut memiliki perkebunan kopi terluas di Indonesia yaitu dengan luas sekitar 81.000 ha. Masing-masing 42.000 ha berada di Kabupaten Bener Meriah dan selebihnya 39.000 ha di Kabupaten Aceh Tengah.
Gayo adalah nama suku asli yang mendiami daerah ini. Mayoritas masyarakat Gayo berprofesi sebagai Petani Kopi. Varietas Arabica mendominasi jenis kopi yang dikembangkan oleh para petani Kopi Gayo. Produksi Kopi Arabica yang dihasilkan dari Tanah Gayo merupakan yang terbesar di Asia
Kopi Aceh Gayo merupakan salah satu kopi khas Nusantara asal Aceh yang cukup banyak digemari oleh berbagai kalangan di dunia. Kopi Aceh Gayo memiliki aroma dan rasa yang sangat khas. Kebanyakan kopi yang ada, rasa pahitnya masih tertinggal di lidah kita, namun tidak demikian pada kopi Aceh Gayo. Rasa pahit hampir tidak terasa pada kopi ini. Cita rasa kopi Aceh Gayo yang asli terdapat pada aroma kopi yang harum dan rasa gurih hampir tidak pahit. Bahkan ada juga yang berpendapat bahwa rasa kopi Aceh Gayo melebihi cita rasa kopi Blue Mountain yang berasal dari Jamaika. Kopi Aceh Gayo dihasilkan dari perkebunan rakyat di dataran tinggi Gayo, Aceh Tengah. Di daerah tersebut kopi ditanam dengan cara organik tanpa bahan kimia sehingga kopi ini juga dikenal sebagai kopi hijau (ramah lingkungan). Kopi Gayo disebut-sebut sebagai kopi organik terbaik di dunia.
Selain telah memiliki reputasi yang baik, kopi Gayo juga memiliki citarasa yang khas, seperti hasil uji citarasa yang dilakukan oleh Christopher Davidson salah seorang cupper internasional. Christopher mengatakan bahwa kopi Gayo memiliki keunikan tersendiri yang tidak tergantikan oleh jenis-jenis kopi lainnya, keunikan dari kopi Gayo ini dikenal dengan istilah ”heavy body and light acidity” yakni sensasi rasa keras saat kopi diteguk dan aroma yang menggugah semangat.
Ulee Kareeng adalah salah satu kecamatan di propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh yang terkenal dengan wisata kulinernya, orang sering menyebutnya dengan nama Kopi Aceh Ulee Kareng. Banyak yang mengatakan jika Anda belum mampir dan mencicipi di salah satu kedai kopi di Ulee Kareng maka belum lengkap perjalanan Anda di kota Banda Aceh.
Biji kopi Ulee Kareng berasal dari biji kopi pilihan berkualitas yang berasal dari daerah Lamno (Aceh Jaya). Biji-biji kopi tersebut banyak diproduksi oleh usaha kecil menengah, produksi kopi bubuk yang siap dipasarkan untuk Warung, Rumah, Rakreasi, Hotel maupun Cafe. Hampir setiap hari pagi hingga malam kedai kopi di Ulee Kareng penuh dengan pelanggan yang datang untuk menikmati kopi ini sebagai tempat untuk bertemu teman atau rekanan bisnis ataupun hanya sekedar melepas lelah. Berkilo-kilogram bubuk kopi habis dikonsumsi oleh pelanggan per hari di kedai kopi Aceh di daerah Ulee Kareng.
Tidak hanya orang Aceh saja yang menikmati kopi Aceh ini, namun kopi Aceh Ulee Kareng juga dikenal oleh turis lokal maupun internasional yang berliburan ataupun bekerja di sekitar Banda Aceh. Banyak dari mereka sangat berkesan dengan kenikmatan kopi Ulee Kareng. Salah satu karakteristik lain dari kopi Ulee Kareng adalah warnanya yang sangat pekat.
Kedai kopi yang paling terkenal dan ramai dikunjungi diantaranya kedai kopi Jasa Ayah atau lebih dikenal Solong Ulee Kareeng (yang tetap menjaga keaslian kopinya), dan kedai kopi Chek Yuke (yang memperhatikan selera pengunjung dan harus menggunakan perasaan dalam setiap penyajian kopinya). Kopi aceh juga bisa ditemui di kedai-kedai kopi di seluruh daerah, hanya saja jika minum di daerah asalnya (Aceh) terasa lebih nikmat. Berikut alamat kedai kopi Jasa Ayah dan Chek Yuke:
Kopi Ulee Kareng Jasa Ayah Solong
Jl. T. Iskandar Sp. 7 Ulee Kareng
Kota Banda Aceh
Nanggroe Aceh Darussalam.
Warung Kopi Chek Yuke
Jl. Diponegoro
di jantung kota Banda Aceh
(kawasan tepi kali dekat Masjid Raya Baiturrahman)
Aroma kopi Aceh akan semakin menjelajah dunia ketika kopi ini telah menjadi salah satu menu dalam kedai kopi internasional, Starbucks Coffee. Seteguk demi seteguk kopi Aceh pun akan sampai ke lidah orang-orang dari mancanegara. Kenikmatan tiada taranya ketika menghirup kopi Aceh pun akan semakin bisa dinikmati warga dunia lainnya. Singkat kata, sekali mencoba kopi Aceh, dijamin pasti jatuh hati. Besok atau lusa nanti mesti kembali untuk merasakan kenikmatan aromanya lagi.
(berbagai sumber)
http://www.iftfishing.com/city/featured/kuliner2/jajanan/kopi-aceh

Jumat, 09 Maret 2012

Awal Fungsi Kincir angin Belanda untuk memperluas daratan


Awal Fungsi Kincir angin Belanda
Belanda tidak hanya terkenal dengan bunga tulip tetapi juga kincir angin. Kincir angin merupakan warisan budaya yang memesona bangsa-bangsa lain sehingga menjadi ikon Belanda dengan sebutan Negeri Kincir Angin.
Orang Indonesia sudah sangat kenal dengan ikon kincir angin Belanda. Karena, sebuah toko roti terkemuka di Indonesia menggunakan nama negara tersebut dengan ikon kincir angin di atas bangunan tokonya.
Menemukan kincir angin di negara asalnya Belanda sesungguhnya tidak sulit. Sebab bangunan khas kincir angin yang sudah ada di Belanda sejak ratusan tahun yang lalu ini masih banyak  tersebar di seluruh wilayah Belanda .
Kincir angin pada awal keberadaannya di Belanda sekitar abad 13 berfungsi untuk mendorong air ke lautan agar terbentuk daratan baru yang lebih luas (polder). Hal ini mengingat letak dataran Belanda yang sebagian besar wilayahnya berada di bawah permukaan laut.
Dengan perkembangan teknologi, sekitar abad ke-17 kincir angin digunakan juga sebagai sarana pembantu di bidang pertanian dan industri. Seperti memproduksi kertas, mengasah kayu, mengeluarkan minyak dari biji, dan menggiling jagung.
Jumlah kincir angin beberapa abad lalu ada sekitar 10.000 kincir angina. Sekarang, kurang lebih 1000 kincir angin. Sebagian kincir angin yang ada sekarang masih berfungsi serta menjadi  obyek wisata yang sangat menarik.  
Setiap orang yang pernah berkunjung ke Belanda sudah bisa dipastikan akan mencari kincir angin. Sebagian besar kincir angin yang tersebar di seluruh wilayah Belanda sekarang hanya berdiri sendiri (satu bangunan) di suatu lokasi daerah.
Sedangkan yang merupakan kumpulan kincir angin, ada di dua tempat dan sudah menjadi obyek wisata yang terpopuler di Belanda.
Tempat ini adalah kawasan wisata yang dilestarikan atau dilindungi yaitu Zaanse Schans di Provinsi Belanda Utara (Province North Holland) dan Kinderdijk di Provinsi Belanda Selatan (Province South Holland).
Kumpulan kincir angin di kawasan wisata Zaanse Schans tampaknya belum banyak dikenal warga Indonesia yang berkunjung ke Belanda. Padahal lokasinya hanya 30 menit perjalanan dengan mobil, bus atau kereta api dari Bandara Schiphol Amsterdam atau 15 menit dari Centrum Amsterdam.
Jarang orang Indonesia yang membicarakan keindahan obyek wisata di Zaanse Schans terutama pemandangan kincir angin yang terletak berjajar di pinggiran sungai yang besar dan di tengah hamparan daerah pertanian yang hijau serta rumah-rumah tradisional Belanda.
Berkunjung ke kawasan wisata Zaanse Schans seyogyanya tidak dilewatkan saat mengunjungi Belanda karena lokasinya tidak jauh dari Amsterdam, terutama saat udara tidak dingin khususnya pada musim panas.
Mengunjungi kawasan wisata Zaanse Schans yang  dilestarikan ini selain menambah pengetahuan tentang fungsi kincir angin juga akan mengenal sekaligus menikmati keindahan daerah yang mempresentasikan cara hidup orang Belanda abad 17-18 atau dikenal juga sebagai Open Air Museum.
Wisatawan bisa menikmatinya dengan berjalan kaki di sepanjang tepi Sungai Zaan, mengunjungi berbagai obyek wisata di kawasan tersebut. Bisa juga dengan menaiki kapal wisata menyusuri sungai (rondvaart) merupakan suatu pengalaman yang sangat berharga yang hanya ada di negeri kincir angin ini.
Kawasan wisata Zaanse Schans terletak di wilayah pemerintahan Zaanstad  yang ibukotanya di Zaandam dan terkenal  juga sebagai kota industri pertama di Eropa. Kawasan wisata Zaanse Schan berada di kota Zaandijk yang berdekatan dengan Zaandam.
Setiba di Zaandijk setelah menggunakan transporatasi kereta api yang berhenti di stasiun Koog aan de Zaan akan terlihat Sungai Zaan yang besar dan banyaknya kincir angin dengan aneka bentuk dan ukuran besar atau kecil.  
Kemudian kita akan menghirup bau coklat yang sangat tajam dari suatu pabrik coklat yang juga sudah berumur ratusan tahun. Sebelum tiba di kawasan wisata Zaanse Schans akan melewati pemukiman yang sebagian besar rumahnya masih berasitektur kuno (Oud Zaandijk).
Kemudian menyebrangi jembatan yang sangat modern. Salah satu bagian jalan jembatan akan terangkat ke atas apabila kapal laut yang berukuran besar akan melewati bawah jembatan. Memasuki kawasan wisata Zaanse Schans tidak dipungut biaya.
Wisatawan langsung akan terlihat bangunan rumah kayu tradisional Belanda yang sudah berumur ratusan tahun (Zaanse Huisjes) dengan arsitektur unik khas Belanda yang sebagian besar dinding rumah kayunya berwarna hijau dan merupakan ciri khas rumah warga di wilayah Zaandstad.
Di pinggiran Sungai Zaan di kawasan wisata yang dilestarikan ini terdapat kumpulan kincir angin yang bentuknya beraneka ragam dan setiap kincir angin itu mempunyai fungsinya masing-masing.
Di sini bisa dilihat cara kerja kincir angin baik untuk keperluan mengeringkan lahan maupun keperluan industri dan pertanian. Di sepanjang Sungai Zaan dahulunya ada ribuan kincir angin.
Sekarang di kawasan Zaanse Schans tinggal 6 kincir angin yaitu De Huisman (pembuatan makanan saus mustard), De Kat (pembuatan cat), De Gekroonde Poelenburg & Jonge Schaap (penggergajian kayu), De Zoeker & De Bonte Hen (pembuatan minyak).  
Ditambah 2 kincir angin yang kecil adalah De Windhond (pengasah batu) dan De Hadel (menguras air). Kincir-kincir angin ini pada musim dingin hanya dibuka untuk umum pada akhir pekan saja atau sesuai perjanjian kecuali Jonge Schaap yang buka setiap hari.  
Untuk masuk ke dalam kincir angin dan melihat aktivitas dalam kincir angin akan dikenakan biaya. Sesungguhnya masih ada lagi kincir angin di luar wilayah kawasan wisata yang dilestarikan yang jumlahnya puluhan di wilayah Zaanstad ini.
Di kawasan wisata ini terdapat beberapa museum yang mempresentasikan kehidupan masa lalu orang Belanda abad 17-18 khususnya di wilayah Belanda Utara. Museum Zaans menyimpan koleksi artefak dan lukisan mengenai kehidupan orang Belanda ratusan tahun yang lalu.
Meseum yang lebih kecil di wilayah ini terkait dengan perusahaan-perusahaan ternama yang awalnya berdiri di Zaandam, seperti Verkade Paviljoen (produsen makanan coklat dan kue).
Ada pula museum dari supermarket tertua dan terbesar di Belanda saat ini yaitu Alberthijn yang berdiri pada tahun 1887. Lalu ada Het Nederlandse Uurwerk (museum jam), Bakkerij museum in de Gecroonde Duyvekater (museum pembuatan roti dan kue).
Museum Kincir Angin juga bisa dilihat tetapi terletak di Koog aan de Zaan saat berjalan memasuki Zaandijk.
Yang menarik di kawasan wisata Zaanse Schans bisa dilihat produk traditional Belanda lainnya yaitu pabrik pembuatan keju sekaligus toko penjualan keju (De Catherine Hoeve) dan pabrik  pembuatan sepatu kayu bakiak atau klompen (the Wooden Shoe Workshop the Zaanse Schans) yang tidak dipungut biaya masuk.  
Klompen yang dibuat bentuknya unik dan lucu. Ada yang diukir, klompen sepatu roda, dan klompen ketawa. Ada juga pabrik kerajinan tembaga (The Coopery) dan perak yang sudah ada sejak ratusan tahun pula (The Tinkoepel).
Salah satu obyek wisata yang baru di Zaanse Schans adalah Museum Penyulingan Minuman yang memperlihatkan proses penyulingan 150 tahun yang lalu, tentunya pengunjung dapat mencicipi pula.
Untuk kenyamanan wisatawan tersedia pula toko-toko cinderamata (Vrede Souvenirs & Gift, Souvenirs & Diamonds ‘Saense Lelie’), toko barang-barang antik dan unik (Het Jagershuis).
Melengkapi kenyamanan berwisata di kawasan ini tersedia beberapa restoran dengan interior dan makanan khas Belanda. Di antaranya yang menyediakan kue traditional Belanda pannekoek (pancake) berukuran diameter 29 cm yang bisa dinikmati di Restoran De Kraai.
Wisatawan yang berkunjung ke kawasan ini dari berbagai penjuru dunia. Mereka mengakui kincir angin merupakan bangunan tradisional yang bentuknya sangat unik sehingga terlihat memesona.
Mereka juga menjadi lebih kagum karena ternyata kincir angin itu mempunyai fungsi yang sangat berarti bagi kehidupan orang Belanda dahulu dan sekarang.  
Saat ini kincir angin sudah menjadi obyek wisata yang sangat menarik jika kita ingin lebih mengenalnya bersama dengan warisan budaya lainnya yang ada di Zaanse Schans. (Janine Helga Warokka)

Kamis, 13 Oktober 2011

Rencong Pusaka Aceh






Rencong (Reuncong) adalah senjata tradisional dari Aceh. Rencong selain simbol kebesaran para bangsawan, merupakan lambang keberanian para pejuang dan rakyat Aceh di masa perjuangan. Keberadaan rencong sebagai simbol keberanian dan kepahlawanan masyarakat Aceh terlihat bahwa hampir setiap pejuang Aceh, membekali dirinya dengan rencong sebagai alat pertahanan diri. Namun sekarang, setelah tak lagi lazim digunakan sebagai alat pertahanan diri, rencong berubah fungsi menjadi barang cinderamata yang dapat ditemukan hampir di semua toko kerajinan khas Aceh.
Bentuk rencong berbentuk kalimat bismillah, gagangnya yang melekuk kemudian menebal pada sikunya merupakan aksara Arab Ba, bujuran gagangnya merupaka aksara Sin, bentuk lancip yang menurun kebawah pada pangkal besi dekat dengan gagangnya merupakan aksara Mim, lajur besi dari pangkal gagang hingga dekat ujungnya merupakan aksara Lam, ujung yang meruncing dengan dataran sebelah atas mendatar dan bagian bawah yang sedikit keatas merupakan aksara Ha.
Rangkain dari aksara Ba, Sin, Lam, dan Ha itulah yang mewujudkan kalimat Bismillah. Jadi pandai besi yang pertama kali membuat rencong, selain pandai maqrifat besi juga memiliki ilmu kaligrafi yang tinggi. Oleh karena itu , rencong tidak digunakan untuk hal-hal kecil yang tidak penting, apalagi untuk berbuat keji, tetapi rencong hanya digunakan untuk mempertahankan diri dari serangan musuh dan berperang dijalan Allah.
Rencong yang ampuh biasanya dibuat dari besi-besi pilihan, yang di padu dengan logam emas, perak, tembaga, timah dan zat-zat racun yang berbisa agar bila dalam pertempuran lawan yang dihadapi adalah orang kebal terhadap besi, orang tersebut akan mampu ditembusi rencong.
Gagang rencong ada yang berbentuk lurus dan ada pula yang melengkung keatas. Rencong yang gagangnya melengkung ke atas disebut rencong Meucungkek, biasanya gagang tersebut terbuat dari gading dan tanduk pilihan.

Bentuk meucungkek dimaksud agar tidak terjadinya penghormatan yang berlebihan sesama manusia, karena kehormatan yang hakiki haya milik Allah semata. Maksudnya, bila rencong meucungkek disisipkan dibagian pinggang atau dibagian pusat, maka orang tersebut tidak bisa menundukkan kepala atau membongkokkan badannya untuk memberi hormat kepada orang lain karena perutnya akan tertekan dengan gagang meucungkek tersebut.
Gagang meucungkek itu juga dimaksudkan agar, pada saat-saat genting dengan mudah dapat ditarik dari sarungnya dan tidak akan mudah lepas dari genggaman. Satu hal yang membedakan rencong dengan senjata tradisional lainnya adalah rencong tidak pernah diasah karena hanya ujungnya yang runcing saja yang digunakan.