STUDI ISLAM II
HUKUM MENIKAHI WANITA HAMIL KARENA ZINA
Oleh :
Akbar Hidayat (10215410880)
Yanto Hermawan
Hardiansyah
Agus R (09215410751)
Muhsan (09215410330)
Teknik Informatika
Fakultas Teknik
Universitas Ibn Khaldun
2011
A. PENDAHULUAN
Di Era Globalisasi sekarang ini banyak sekali budaya asing yang masuk ke Indonesia, budaya-budaya tersebut banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia tanpa melihat baik-buruknya budaya tersebut, seperti daam hal pergaulan bebas, pemuda-pemudi Indonesia sudah berani terang-terangan berkencan ditempat umum, terlebih ditempat sepi, ketika tak dapat lagi menahan hawa nafsu akhirnya mereka berzina dan bersetubuh hingga wanita tersebut hamil, nah, bagaimana hukumnya menikahi wanita hamil diluar nikah seperti contoh tersebut.?
B. PEMBAHASAN
HUKUM MENIKAHI WANITA YANG SEDANG HAMIL KARENA BERZINA
Menurut Abu Yusuf ( murid dan sahabat Abu Hanifah ) demikian pula menurut Abu Hanifah : tidak dibenarkan menikahi wanita yang sedang hamil akibat perzinaan, sebelum ia melahirkan anaknya, berdasarkan Sabda Nabi SAW
Artinya : “tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dia menuangkan air maninya pada semaian orang lain.( HR. Abu Daud ).
Maksud hadits tersebut agar si suami tidak menyirami tanaman orang lain dengan airnya sendiri. Sebab air si laki-laki pelaku zina tidak memilki kehormatan atau najis, sedangkan air si suami yang kini menikahinya adalah terhormat, maka bagaimana mungkin ia mencampurkannya dengan air najis.
Berlainan dengan para ulama mazhab Syafi’i, mereka tetap membenarkan ( meskipun memakruhkannya atau tidak menyukai ) pernikahan dengan wanita yang sedang hamil karena berzina, mengingat bahwa perzinaan menurut mereka adalah perbutan diluar hokum dan tidak memiliki kehormatan sedikit pun ( baik tentang adanya kehamilan tersebut ataupun tentang anak yang akan lahir sebagai akibatnya ). Karena itu, tidak ada hambatan untuk menikahi wanita seperti itu.
Dan tampaknya pendapat terakhir inilah yang menjadi pilihan para penyusun kompilasi hokum perkawinan yang berlaku di Indonesia.;
1) Seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Artinya : “tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dia menuangkan air maninya pada semaian orang lain.( HR. Abu Daud ).
Maksud hadits tersebut agar si suami tidak menyirami tanaman orang lain dengan airnya sendiri. Sebab air si laki-laki pelaku zina tidak memilki kehormatan atau najis, sedangkan air si suami yang kini menikahinya adalah terhormat, maka bagaimana mungkin ia mencampurkannya dengan air najis.
Berlainan dengan para ulama mazhab Syafi’i, mereka tetap membenarkan ( meskipun memakruhkannya atau tidak menyukai ) pernikahan dengan wanita yang sedang hamil karena berzina, mengingat bahwa perzinaan menurut mereka adalah perbutan diluar hokum dan tidak memiliki kehormatan sedikit pun ( baik tentang adanya kehamilan tersebut ataupun tentang anak yang akan lahir sebagai akibatnya ). Karena itu, tidak ada hambatan untuk menikahi wanita seperti itu.
Dan tampaknya pendapat terakhir inilah yang menjadi pilihan para penyusun kompilasi hokum perkawinan yang berlaku di Indonesia.;
1) Seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Hamil di luar nikah menurut hukum islam ? Zaman sekarang ini banyak Remaja atau perempuan yang hamil di luar nikah karena pergaulan bebas, kemudian dikarena tidak mau menanggung malu, pihak orang tua menikahkan anak yang hamil dengan laki-laki (baik yang menghamili maupun yang tidak menghamili).
Lalu, apakah pernikahannya ini sah?
Ada ustadz yang bilang bahwa pernikahannya ini tidak sah sebab harus menunggu bayi itu lahir dan baru menikah. tapi, yang seperti ini sepertinya tidak lazim dan malah membuat malu (aib) di kalangan masyarakat kita.
Ada ustadz berpendapat atau (barangkali didukung dengan hadits Nabis SAW) menganggap bahwa pernikahan tersebut tidak sah. katanya, ketika anaknya sudah lahir kelak, ia harus menikah ulang lagi.
Tentang hamil diluar nikah sendiri sudah kita ketahui sebagai perbuatan zina baik oleh pria yang menghamilinya maupun wanita yang hamil. Dan itu merupakan dosa besar.
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا ﴿٣٢﴾
QS 17 : 32. Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖ وَلَا تَأْخُذْكُم بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ ﴿٢﴾
QS 24 : 2. Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.
وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَن يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ ﴿١٣٥﴾
QS 3 : 135. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri[*], mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.
Yang dimaksud perbuatan keji (faahisyah) ialah dosa besar yang mana mudharatnya tidak hanya menimpa diri sendiri tetapi juga orang lain, seperti zina, riba. Menganiaya diri sendiri ialah melakukan dosa yang mana mudharatnya hanya menimpa diri sendiri baik yang besar atau kecil.
Yang dimaksud perbuatan keji (faahisyah) ialah dosa besar yang mana mudharatnya tidak hanya menimpa diri sendiri tetapi juga orang lain, seperti zina, riba. Menganiaya diri sendiri ialah melakukan dosa yang mana mudharatnya hanya menimpa diri sendiri baik yang besar atau kecil.
Jumhur ulama berdasar pada hadis ‘Aisyah dari Ath-Thobary dan ad-Daruquthny, sesungguhnya Rasulullah SAW ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan dan ia mau mengawininya. Beliau berkata:”Awalnya zina akhirnya nikah, dan yang haram itu tidak mengharamkan yang halal.”Sahabat yang mebolehkan nikah wanita berzina adalah Abu Bakar, Umar, Ibnu Abbas yang disebut madzab Jumhur. (Ali Assobuny/I/hlm49-50).Sedangkan boleh tidaknya perempuan yang berzina menikah dengan laki-laki yang bukan menghamilinya, para ulama berbeda pendapat terhadap hal tersebut:
Pendapat pertama menyatakan bahwa hal tersebut diharamkan, pendapat ini adalah pendapatnya Hasan al-Bishry dan lain-lainya. Mereka berdasar pada firman Allah SWT :
Dan perempuan yang berzina tidak menikahinya kecuali laki-laki yang berzina atau pun musrik dan hal tersebut diharamkan bagi orang-orang yang beriman (An-Nur: 3).
Ayat ini menurut mereka menyatakan akan keharaman menikahnya perempuan yang berzina dengan laki-laki yang bukan menzinahinya.
Pendapat kedua menyatakan bahwa hal tersebut dibolehkan. Sedang ayat di atas bukan menjelaskan keharaman hal tersebut tetapi mununjukan atas pencelaan orang yang melakukannya. Pendapat ini dikemukakan oleh Jumhur Ulama.
Mereka pun berdasar kepada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Nasay dari Ibnu Abbas, ia berkata: Seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW, ia berkata: Sesungguhnya istriku tidak bisa menjaga dirinya dari perbuatan zinah. Nabi pun bersabda: Jauhkalah dia. Orang itu menjawab: aku khawatir jiwaku akan mengikutinya (karena kecintaannya). Nabi pun bersabda padanya: Kalau begitu bersenang-senanglah dengannya (Nailul Author 6/145)
Juga hadits yang diriwayatkan dari Aisyah:
Sesuatu yang harom tidak dapat menghalalkan yang haram. (HR Baihaqy)
Akan tetapi mereka yang berpendapat tentang kebolehan menikahnya seorang wanita yang berzinah dengan laki-laki yang bukan menzinahinya dalam beberapa hal;
1. Fuqoha Hanafiyah menyatakan: Jika wanita yang berzina tidak hamil. Maka aqad nikahnya dengan laki-laki yang bukan menzinahinya adalah sah. Demikian juga jika si wanita tersebut sedang hamil, demikian menurut Abu Hanifah dan Muhammad. Akan tetapi ia tidak boleh menggaulinya selama belum melahirkan. Dengan dalil sebagain berikut:
a. perempuan yang berzina tidak termasuk wanita yang haram dinikahi. Oleh karena itu hukumnya mubah (boleh) dan termasuk dalam firman-Nya: Dan kami menghalalkan bagi kalian selain dari itu (an-Nisaa: 24)
b. Tidak ada keharaman karena disebabkan air (sperma) hasil zina. Dengan dalil hal tersebut tidak bisa menjadi sebab penasaban anak tersebut kepada bapaknya. Oleh karena itu zina tidak bisa menjadi penghalang pernikahan.
Adapun sebab tidak bolehnya laki-laki tersebut menggauli wanita tersebut sampai ia melahirkan, adalah sabda Rasulullah SAW : Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah ia menyirami dengan airnya ladang orang lain (HR Abu Daud dan at- Tirmidzy) yang dimaksud adalah wanita hamil disebabkan orang lain.
2. Abu Yusuf dan Zufar berpendapat: tidak bolah melakukan aqad nikah terhadap wanita yang hamil karena zina. Karena kehamilan tersebut menghalanginya untuk menggauli wanita tersebut dan juga menghalangi aqad dengannya. Sebagimana halnya kehamilan yang sah, yaitu; sebagaimana tidak bolehnya melaksanakan aqad nikah dengan wanita yang hamil bukan karena zina maka dengan wanita yang hamil karena zina pun tidak sah.
3. Fuqoha Malikiyah menyatakan: tidak boleh melaksanakan aqad nikah dengan wanita yang berzina sebelum diketahui bahwa wanita tersebut tidak sedang hamil (istibraa), hal tersebut diketahui dengah haid sebanyak tiga kali atau ditunggui tiga bulan. Karena aqad dengannya sebelum istibra adalah aqad yang fasid dan harus digugurkan. Baik sudah nampak tanda-tanda kehamilan atau belum karena dua sebab, pertama adalah kehamilannya sebagimana hadits janganlah ia menyirami dengan airnya ladang orang lain atau dikhawtirkan dapat tercampurnya nasab jika belum nampak tanda-tanda kehamilan.
4. Fuqoha Syafiiyah: Jika ia berzina dengan seorang wanita, maka tidak diharamkan menikah dengannya, hal tersebut berdasar pada firman Allah: Dan kami menghalalkan bagi kalian selain dari itu (an-Nisaa: 24) juga sabda Rasulullah SAW : sesuatu yang haram tidak dapat mengharamkan yang halal
5. Fuqoha Hanabilah berpendapat jika seorang wanita berzinah maka tidak boleh bagi laki-laki yang mengetahu hal tersebut menikahinya, kecuali dengan dua syarat:
a. Selesai masa iddahnya dengan dalil di atas, janganlah ia menyirami dengan airnya ladang orang lain dan hadit shohih Wanita yang hamil tidak boleh digauli sampai ia melahirkan
b. Wanita tersebut bertaubat dari zinanya berdasarkan firman Allah SWT: dan hal tersebut diharamkan bagi orang-orang mumin (an-Nur: 3) dan ayat tersebut berlaku sebelum ia bertaubat. Jika sudah bertaubat hilanglah keharaman menikahinya sebab Rasulullah SAW bersabda: Orang yang bertaubat dari dosanya seperti orang yang tidak memiliki dosa
Jika hukum hudud belum diterapkan di negeri ini, maka orang yang melakukannya harus banyak beristigfar dan segera bertaubat kepada Allah dengan taubat nasuha, dan tidak boleh mengulangi lagi hal tersebut. Karena tidak mungkin orang tersebut melakukan hukuman hudud atau dirinya sendiri. Karena hukum hudud harus dilaksanakn oleh negara dalam hal ini mahkamah khusus yang telah ditunjuk.
C. Hukum Menikahi Wanita Hamil Karena Berzina
Menikahi wanita yang sedang dalam keadaan hamil hukumnya ada dua.
1.Yang hukumnya haram adalah apabila yang menikahi bukan orang yang menghamili.Wanita itu dihamili oleh A, sedangkan yang menikahinya B. Hukumnya haramsebagaimana sabda Rasulullah SAW: Tidak halal bagi orang yang beriman kepadaAllah dan Hari Akhir, dia menuangkan air (maninya) padatanaman orang lain. (HR Abu Daud). Yang dimaksud dengan tanaman orang lain maksudnya haram melakukanpersetubuhan dengan wanita yang sudah dihamili orang lain. Baik hamilnya karenazina atau pun karena hubungan suami isteri yang sah. Pendeknya, bila seorang wanitasedang hamil, maka haram untuk disetubuhi oleh laki-laki lain, kecuali laki-laki yangmenyetubuhinya.
2. yang hukumnya boleh.Yaitu wanita hamil karena zina dinikahi oleh pasangan zina yang menghamilinya.Hukumnya boleh dan tidak dilarang. Maka seorang laki-laki menikahi pasanganzinanya yang terlanjur hamil dibolehkan, asalkan yang menyetubuhinya(mengawininya) adalah benar-benardirinya sebagai laki-lakiyang menghamilinya,bukan orang lain.
D. Status Anak Hasil Hubungan di Luar Nikah.
Semua madzhab yang empat (Madzhab Hanafi, Malikiy, Syafi?i dan Hambali) telah sepakat bahwa anak hasil zina itu tidak memiliki nasab dari pihak laki-laki, dalam arti dia itu tidak memiliki bapak, meskipun si laki-laki yang menzinahinya dan yang menaburkan benih itu mengaku bahwa dia itu anaknya. Pengakuan ini tidak dianggap, karena anak tersebut hasil hubungan di luar nikah. Di dalam hal ini, sama saja baik si wanita yang dizinai itu bersuami atau pun tidak bersuami. Jadi anak itu tidak berbapak.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam : Artinya ?Anak itu bagi (pemilik) firasy dan bagi laki-laki pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan).
Firasy adalah tempat tidur dan di sini maksudnya adalah si istri yang pernah digauli suaminya atau budak wanita yang telah digauli tuannya, keduanya dinamakan firasy karena si suami atau si tuan menggaulinya atau tidur bersamanya. Sedangkan makna hadits tersebut yakni anak itu dinasabkan kepada pemilik firasy. Namun karena si pezina itu bukan suami maka anaknya tidak dinasabkan kepadanya dan dia hanya mendapatkan kekecewaan dan penyesalan saja.
Dikatakan di dalam kitab Al-Mabsuth, ?Seorang laki-laki mengaku berzina dengan seorang wanita merdeka dan (dia mengakui) bahwa anak ini anak dari hasil zina dan si wanita membenarkannya, maka nasab (si anak itu) tidak terkait dengannya, berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam : Artinya ?Anak itu bagi pemilik firasy, dan bagi laki-laki pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan)
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam telah menjadikan kerugian dan penyesalan bagi si laki-laki pezina, yaitu maksudnya tidak ada hak nasab bagi si laki-laki pezina, sedangkan penafian (peniadaan) nasab itu adalah murni hak Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Ibnu Abdil Barr berkata, Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, ?Dan bagi laki-laki pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan)? Maka beliau menafikan (meniadakan) adanya nasab anak zina di dalam Islam.
Oleh karena itu anak hasil zina itu tidak dinasabkan kepada laki-laki yang berzina maka :
Anak itu tidak berbapak.
Anak itu tidak saling mewarisi dengan laki-laki itu.
Bila anak itu perempuan dan di kala dewasa ingin menikah, maka walinya adalah wali hakim, karena dia itu tidak memiliki wali.
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, Artinya ?Maka sulthan (pihak yang berwenang) adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali?21
Satu masalah lagi yaitu bila si wanita yang dizinahi itu dinikahi sebelum beristibra? dengan satu kali haidh, lalu digauli dan hamil terus melahirkan anak, atau dinikahi sewaktu hamil, kemudian setelah anak hasil perzinahan itu lahir, wanita itu hamil lagi dari pernikahan yang telah dijelaskan di muka bahwa pernikahan ini adalah haram atau tidak sah, maka bagaimana status anak yang baru terlahir itu ?
Bila si orang itu meyakini bahwa pernikahannya itu sah, baik karena taqlid kepada orang yang membolehkannya atau dia tidak mengetahui bahwa pernikahannya itu tidak sah, maka status anak yang terlahir akibat pernikahan itu adalah anaknya dan dinasabkan kepadanya, sebagaimana yang diisyaratkan oleh Ibnu Qudamah tentang pernikahan wanita di masa ?iddahnya di saat mereka tidak mengetahui bahwa pernikahan itu tidak sah atau karena mereka tidak mengetahui bahwa wanita itu sedang dalam masa ?iddahnya, maka anak yang terlahir itu tetap dinisbatkan kepadanya padahal pernikahan di masa ?iddah itu batal dengan ijma para ulama, berarti penetapan nasab hasil pernikahan di atas adalah lebih berhak.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan hal serupa, beliau berkata, ?Barangsiapa menggauli wanita dengan keadaan yang dia yakini pernikahan (yang sah), maka nasab (anak) diikutkan kepadanya, dan dengannya berkaitanlah masalah mushaharah (kekerabatan) dengan kesepakatan ulama sesuai yang saya ketahui, meskipun pada hakikatnya pernikahan itu batil di hadapan Allah dan RasulNya, dan begitu juga setiap hubungan badan yang dia yakini tidak haram padahal sebenarnya haram, (maka nasabnya tetap diikutkan kepadanya).23
Semoga orang yang keliru menyadari kekeliruannya dan kembali taubat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, sesungguhnya Dia Maha luas ampunannya dan Maha berat siksanya. (Abu Sulaiman).
Semua madzhab yang empat (Madzhab Hanafi, Malikiy, Syafi?i dan Hambali) telah sepakat bahwa anak hasil zina itu tidak memiliki nasab dari pihak laki-laki, dalam arti dia itu tidak memiliki bapak, meskipun si laki-laki yang menzinahinya dan yang menaburkan benih itu mengaku bahwa dia itu anaknya. Pengakuan ini tidak dianggap, karena anak tersebut hasil hubungan di luar nikah. Di dalam hal ini, sama saja baik si wanita yang dizinai itu bersuami atau pun tidak bersuami. Jadi anak itu tidak berbapak.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam : Artinya ?Anak itu bagi (pemilik) firasy dan bagi laki-laki pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan).
Firasy adalah tempat tidur dan di sini maksudnya adalah si istri yang pernah digauli suaminya atau budak wanita yang telah digauli tuannya, keduanya dinamakan firasy karena si suami atau si tuan menggaulinya atau tidur bersamanya. Sedangkan makna hadits tersebut yakni anak itu dinasabkan kepada pemilik firasy. Namun karena si pezina itu bukan suami maka anaknya tidak dinasabkan kepadanya dan dia hanya mendapatkan kekecewaan dan penyesalan saja.
Dikatakan di dalam kitab Al-Mabsuth, ?Seorang laki-laki mengaku berzina dengan seorang wanita merdeka dan (dia mengakui) bahwa anak ini anak dari hasil zina dan si wanita membenarkannya, maka nasab (si anak itu) tidak terkait dengannya, berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam : Artinya ?Anak itu bagi pemilik firasy, dan bagi laki-laki pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan)
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam telah menjadikan kerugian dan penyesalan bagi si laki-laki pezina, yaitu maksudnya tidak ada hak nasab bagi si laki-laki pezina, sedangkan penafian (peniadaan) nasab itu adalah murni hak Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Ibnu Abdil Barr berkata, Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, ?Dan bagi laki-laki pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan)? Maka beliau menafikan (meniadakan) adanya nasab anak zina di dalam Islam.
Oleh karena itu anak hasil zina itu tidak dinasabkan kepada laki-laki yang berzina maka :
Anak itu tidak berbapak.
Anak itu tidak saling mewarisi dengan laki-laki itu.
Bila anak itu perempuan dan di kala dewasa ingin menikah, maka walinya adalah wali hakim, karena dia itu tidak memiliki wali.
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, Artinya ?Maka sulthan (pihak yang berwenang) adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali?21
Satu masalah lagi yaitu bila si wanita yang dizinahi itu dinikahi sebelum beristibra? dengan satu kali haidh, lalu digauli dan hamil terus melahirkan anak, atau dinikahi sewaktu hamil, kemudian setelah anak hasil perzinahan itu lahir, wanita itu hamil lagi dari pernikahan yang telah dijelaskan di muka bahwa pernikahan ini adalah haram atau tidak sah, maka bagaimana status anak yang baru terlahir itu ?
Bila si orang itu meyakini bahwa pernikahannya itu sah, baik karena taqlid kepada orang yang membolehkannya atau dia tidak mengetahui bahwa pernikahannya itu tidak sah, maka status anak yang terlahir akibat pernikahan itu adalah anaknya dan dinasabkan kepadanya, sebagaimana yang diisyaratkan oleh Ibnu Qudamah tentang pernikahan wanita di masa ?iddahnya di saat mereka tidak mengetahui bahwa pernikahan itu tidak sah atau karena mereka tidak mengetahui bahwa wanita itu sedang dalam masa ?iddahnya, maka anak yang terlahir itu tetap dinisbatkan kepadanya padahal pernikahan di masa ?iddah itu batal dengan ijma para ulama, berarti penetapan nasab hasil pernikahan di atas adalah lebih berhak.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan hal serupa, beliau berkata, ?Barangsiapa menggauli wanita dengan keadaan yang dia yakini pernikahan (yang sah), maka nasab (anak) diikutkan kepadanya, dan dengannya berkaitanlah masalah mushaharah (kekerabatan) dengan kesepakatan ulama sesuai yang saya ketahui, meskipun pada hakikatnya pernikahan itu batil di hadapan Allah dan RasulNya, dan begitu juga setiap hubungan badan yang dia yakini tidak haram padahal sebenarnya haram, (maka nasabnya tetap diikutkan kepadanya).23
Semoga orang yang keliru menyadari kekeliruannya dan kembali taubat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, sesungguhnya Dia Maha luas ampunannya dan Maha berat siksanya. (Abu Sulaiman).
BAB III
KESIMPULAN.
Bahwasanya menikah dengan pezina baik dengan wanita dan laki-laki pezina itu diharamkan bagi orang-orang yang beriman, berdasarkan firman Allah SWT dalam Surat An-Nur ayat 3, kecuali mereka benar-benar bertaubat (menyesali perbuatannya masa lalu dan berekad kuat untuk memulai hidup baru yang bersih dari segala dosanya), dan sudah beristibra.
Menikah wanita hamil karena berzina, ada perbedaan pendapat menurut Abu Hanifah tidak membolehkannya, sebelum dia melahirkan anaknya, sedangkan menurut Imam Syafii dia membolehkan meskipun tidak menyukai pernikahan dengan wanita hamil karena berzina. Sedangkan menurut Hasan Asy’ari Syaikho Al-Barbazy menikah dengan wanita hamil karena berzina adalah sah walaupun sebelum selesai masa iddahnya, akan tetapi tidak di perkenankan melakukan hubungan seksual kecuali setelah ia melahirkan, berdasarkan Sabda Nabi SAW : tidak boleh digauli yang sedang hamil, sampai ia melahirkan dan tidak boleh digauli yang tidak hamil, sampai dia beristibra. Dan status anak hasil berzina menurut empat mazhab anak tersebut tidak dinasabkan dari pihak laki-laki, dalam arti tidak saling mewarisi dengan laki-laki itu.
- Hukum berzina
- Kekejian berzina: 4:24, 4:25, 5:5, 17:32, 19:28, 23:7, 70:31
- Keutamaan meninggalkan hal-hal yang keji: 4:31, 17:32, 23:5, 23:10, 23:11, 42:37, 53:32, 70:29, 70:30, 70:31
- Dipaksa berbuat zina: 24:33
- Zina anggota badan: 24:30, 24:31
- Penetapan berzina
- Sanksi berzina
Tidak ada komentar:
Posting Komentar