Kamis, 11 Oktober 2012

Indonesia “tanpa” Aceh ( akankah ketidakadilan akan terus membelenggu)

MASIH pantaskah negeri kita disebut Indonesia tanpa Aceh? Pertanyaan ini mencuat ke permukaan kesadaran kita karena sejarah menunjukkan bahwa masyarakat Aceh-dengan segala daya hidup dan dinamika yang dimilikinya-adalah investor persatuan Nusantara sedari dulu. Sejak interaksi berbagai suku bangsa melalui perdagangan, nun di masa lampau, Samudera Pasai telah menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi untuk memperluas persaudaraannya di kepulauan Nusantara. Kerajaan Islam yang pertama ini pulalah yang kemudian menyumbangkan sedikitnya tiga di antara sembilan Wali Songo di tanah Jawa. Di Aceh pula, kolonial tak berhasil mencengkeramkan kukunya. Kuta Raja, Banda Aceh sekarang, adalah kota yang menggemaskan gubernur jenderal di Batavia karena tidak tertaklukkan.

Pada masa perjuangan kemerdekaan, ulama-ulama Aceh, yang merupakan representasi masyarakat Aceh secara keseluruhan, menyatakan secara bersama bahwa Aceh merupakan bagian dari Republik Indonesia, dan karena itulah Aceh merupakan salah satu provinsi negeri ini dengan catatan sebagai daerah istimewa. Memasuki era Indonesia merdeka, putra-putra Aceh pulalah yang pertama kali menyumbangkan pesawat Seulawah bagi Republik. Ini dimaksudkan sebagai ungkapan rasa hormat dan kebanggaan terhadap pemimpin di negeri ini.

Pada awal era itu juga, sebuah nama mencuat dan jadi simbol kejuangan rakyat Aceh, Teungku Daud Beureueh. Ia angkat suara dengan lantang menentang Jakarta yang menurut mereka telah mengabaikan hak-hak dan aspirasi masyarakat Aceh. Bung Karno, selaku Presiden Republik Indonesia, dengan penuh kehangatan menyapanya dengan panggilan Abu Daud (Bapak Daud). Ia datang berhadapan langsung dan berunding dengan sang Abu Daud, di Kamar No. 1 Hotel Aceh, di dekat Masjid Baiturrahman. Bung Karno dengan karisma dan wibawanya, tanpa merasa sungkan, meminta dan merangkul Daud Beureueh dengan sepenuh hati, untuk kembali ke pangkuan Republik. Abu Daud menerima rangkulan keakraban Presiden dan serta-merta memerintahkan pasukannya turun gunung dan bergabung kembali dalam pangkuan Ibu Pertiwi. Sayang, hotel bersejarah itu telah berganti menjadi Hotel Novotel, dan peristiwa bersejarah yang dapat dijadikan teladan itu terlupakan begitu saja.

---

Tragedi, Inilah sebuah kata. Dalam begitu banyak peristiwa, di suatu tempat dan tempat yang lain, pada suatu waktu dan waktu yang lain pula, dalam simpul-simpul pengalaman keindonesiaan kita, perkataan itu semakin sering muncul di permukaan lembaran sejarah negara kebangsaan yang usianya sudah menjelang 58 tahun ini. Kata itu bisa hadir mewakili sebuah bab yang mungkin tak lengkap, menjadi bagian dari sejumlah bab yang terus semakin tebal dalam tumpukan catatan nasib rakyat dan masyarakat kita sebagai sebuah bangsa.

Bertatapan dengan tumpukan catatan seperti itu, yang di antaranya sulit dibaca, mungkin kurang obyektif dan belum sempat dikoreksi serta cacat-cacat lainnya, terasa, alangkah sepinya yang bernama sejarah. Dan dalam sepi itu pula tragedi semakin akrab; bukan lagi sebagai sebuah kata, tetapi sebagai representasi dari sejumlah pengalaman getir yang terus-menerus mengusik hati nurani.

Cerita suram, sesudah Aceh dijadikan daerah operasi militer (DOM) di masa yang lalu, akankah terulang saat ini? Sewaktu bertemu dengan almarhum Teungku Syafe'i, saya menyaksikan penderitaan batin yang teramat dalam yang dialami saudara-saudara kita di Aceh. Perjumpaan yang sesungguhnya dalam kapasitas pribadi, namun sebagai salah seorang pejabat resmi, saya berpendapat sesungguhnya "ketidakadilan"-lah yang menyulut bara api itu.

Rakyat Aceh, sebagaimana rakyat kita di seluruh pelosok negeri, sudah tak mampu lagi menanggung kesengsaraan yang berkepanjangan. Kekayaan alamnya dikuras, sementara para ahli waris Uleebalang, yang hanya sukses memenuhi kepentingannya dengan mengatasnamakan rakyat Aceh di hadapan pemerintah pusat, menikmati kemewahan yang tak alang kepalang. Teungku Hasan di Tiro sendiri menetap di Swedia, sebagai warga negara dari sebuah negeri yang aman tenteram, jauh dari negeri tempat rakyat Aceh hidup dalam segala kesengsaraannya.

Sementara itu, ia tanpa merasa berat hati melampiaskan dendam nostalgiknya, mengenang semasa ia naik gunung melawan Jakarta bersama Abu Daud. Dari kejauhan dan dengan hidupnya yang bergelimang kemewahan, ia mendaulat dirinya sendiri sebagai pemimpin sebuah negeri atas nama GAM di pengasingan dan melakukan diplomasi internasional. Sedangkan rakyat yang diwakilinya bergelimang kegetiran hidup yang pahit lagi menyakitkan.

Kisah tragedi di Aceh, rentang waktunya sudah sangat panjang. Watak kultural masyarakat yang sama sekali tidak pernah bisa "menerima" terhadap hal-hal yang melukai atau mengusik kebanggaan mereka, merupakan suatu penyebab sering munculnya konflik dengan pemerintah pusat. Tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa sudah sangat lama mereka merasa diperlakukan seperti "anak tiri"; hak-hak mereka untuk menikmati kemakmuran dan keadilan terabaikan. Padahal mereka adalah putra yang sah dari sejarah terbentuknya negara kebangsaan Indonesia yang bersatu. Namun itu pun terabaikan. Perjuangan untuk mewujudkan aspirasi mereka yang selalu gagal, bergeser menjadi konflik politik yang kian lama kian panas dan berkembang menjadi keruwetan yang berkepanjangan.

Betapa sulitnya menjadi rakyat Aceh saat itu untuk bisa hidup secara wajar di negerinya sendiri. Pluralitas suku bangsa kita sebagai penopang negeri yang besar ini masih tak terarifi sebagaimana mestinya. Menjadi orang Aceh berarti harus berpihak pada GAM atau TNI. Apakah memang mestinya begini? Kepanikan dan nyaris gelap mata. Itulah yang kita saksikan hari-hari ini, saat pemimpin kita kembali mencari jalan penyelesaian Aceh dengan resep tunggal, yakni dengan mengirimkan pasukan besar-besaran untuk menumpas GAM. Sementara hati rakyat Aceh, siapakah yang peduli ke arah mana mereka berpihak. Bagaimana kalau mereka tak mampu berpihak? Sebagai saudara sendiri, sulit saya membayangkan bagaimana kita harus mengamputasi bahagian tubuh kita sendiri.

Kolom ini tidak akan mampu mengungkapkan bagaimana nasib yang dialami rakyat dan masyarakat dalam berbagai tragedi itu secara runtut satu demi satu. Sebab itu tak mungkin. Tapi, sebagai ilustrasi, ada nukilan penting pada lambang negara kita yang dalam situasi dan kondisi kita sekarang ini dapat dibaca ulang, yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Nukilan ini tentu saja bukan sekadar warisan. Bukan pula sebuah amanat dari suatu masa yang hanya berlaku untuk masa ketika founding fathers republik ini masih hidup. Nukilan itu, yang kini tampak bercahaya pada lambang negara kita yang ekspresinya secara artistik tampak kian sempurna, adalah sebuah ungkapan yang setiap dipikirkan akan semakin memperjelas makna serta maksud dan tujuannya.

Bersatunya kita sebagai bangsa adalah sebuah ihwal kesejarahan yang lahir dari suatu hal kesejarahan yang lain, yang exist lebih awal, yaitu kenyataan masyarakat bangsa yang pluralistik sifatnya. Seumpama anak dan orang tua, bersatunya kita sebagai bangsa adalah anak yang dilahirkan oleh pluralitas masyarakat kita sendiri; anak yang dilahirkan oleh indahnya cinta dan kerukunan. Cultural capital yang kita miliki untuk tetap bersatu adalah kerukunan. Kerukunan itu pula yang mengkondisikan kedamaian di tengah perbedaan dan keberagaman. Anak tak bisa ingkar terhadap orang tuanya kecuali ia adalah anak durhaka. Begitu pula sebaliknya.

Tragedi terjadi, mungkin bukan karena sebab yang tunggal. Itu lumrah. Namun adalah logis bila cultural capital itu terabaikan dan kerukunan berganti dengan sesuatu yang lain atau yang sebaliknya, maka bencana bisa lebih dekat dibandingkan dengan saudara sendiri. Sesuatu yang lain itu maksudnya yang tidak berakar pada nilai-nilai pemersatu dalam pluralitas. Misalnya, kompetisi antarkepentingan yang berbeda-beda. Bila potensi konflik seperti yang terakhir ini tidak diimbangi dengan nilai-nilai yang potensial sebagai pemersatu-sebagaimana yang selalu terjadi dalam persaingan kepentingan politik dan ekonomi atau keduanya sekaligus-tragedi pun segera tiba. Kita semua sudah sangat sering mengalaminya.

Gemas, itulah mungkin kata yang tepat, pada saat kita saksikan ada gerakan bersenjata yang berniat memisahkan diri. Tetapi hal ini tentu tak jalan sendiri. Etnonasionalisme yang seakan eksis melalui GAM, sama halnya dengan Papua dan Maluku, berpangkal pada ketidakadilan yang telah lama dipraktekkan Jakarta. Dari kekayaan alamnya di perut bumi dan emas hijaunya yang melimpah, sangat kecil yang bisa dinikmati rakyat Aceh, dibandingkan dengan apa yang bisa dinikmati segelintir orang Aceh menak dan Jakarta di satu pihak serta kepentingan asing di lain pihak. Kegundahan kita kian membuncah manakala, sebagai rakyat biasa, kita kembali menyaksikan saudara-saudara kita di Aceh harus kembali menjadi pengungsi di negerinya sendiri. Dan luka lama belum lagi terobati.

---

Di samping kerukunan, bersatunya kita sebagai bangsa selalu disemangati oleh berbagai harapan seperti yang selalu dijanjikan terutama oleh negara. Cerita tentang nasib yang bernama harapan ini sudah tak asing lagi. Nasibnya sama dengan yang merundungi rakyat dan masyarakat Aceh selama setengah abad terakhir dari sejarah kemerdekaan kita. Apakah harapan dan impian masyarakat Aceh? Yang utama adalah harapan untuk menikmati hasil pembangunan berupa kemakmuran dan kesejahteraan, atau, dalam idiom Pancasila, keadilan sosial. Juga kehidupan berbudaya dan berkeadaban, ketika harkat dan martabat mereka selalu terjaga.

Masalah pokok atau inti persoalan rakyat dan masyarakat Aceh berada di sekitar harapan dan impian tersebut. Dengan ini, fokus penyelesaian tragedi Aceh menjadi jelas. Suatu paket "operasi terpadu" untuk menjaga kelangsungan proses penyelesaian tersebut perlu diciptakan dan diselenggarakan dengan komitmen penuh ketulusan. Harus ada reward bagi yang berhasil dan punishment bagi yang curang. Masalah yang selalu krusial dan sangat ruwet bukanlah masalah rakyat dan masyarakat Aceh yang "menagih janji" dari pemerintah pusat.

Masalahnya, kalangan elite Aceh (bukan hanya GAM) yang menyeret persoalan masyarakat dan rakyat Aceh ke wilayah politik untuk tujuan kepentingan mereka sendiri. Benang kusutnya ada di sini. Di tengah satu bangsa yang begini besar, pasti ada orang-orang yang mampu mengurainya, dengan penuh ketulusan. Tampaknya kita harus berani memikirkan yang selama ini belum terpikirkan, melakukan yang belum pernah dilakukan, termasuk terhadap diri kita sendiri.


Bila senjata telah berdentaman, upaya apa lagikah yang dapat dilakukan? Dari wajah-wajah korban yang mati, pesan apakah yang terbaca buat yang tinggal? Kita harus mampu membacanya. Kenapa mereka harus mati? Untuk apa? Untuk siapa? Dari garis batas impian dan harapan, di bawah langit muram kekecewaan, selalu ada yang dapat diupayakan untuk sesuatu yang lebih baik.


Rakyat Aceh mungkin akan memaafkan segala kesalahan itu dengan segenap ketulusan, Namun mereka takkan pernah bisa melupakannya, Inilah sejarah yang akan terus di ceritakan kepada anak cucu mereka kelak. Inilah sebuah keyakinan. Bila keyakinan ini menjadi milik bersama, untuk kiprah bersama pula, akan terasa bahwa kedamaian yang didambakan itu begitu dekat. Dan pada saatnya, senjata pasti akan berhenti berdentam. Membisu seperti orang-orang mati. Ketika hati berpaling dari yang bernama kekerasan.

Penulis Bondan Gunawan S. 

Read more: http://www.atjehcyber.net/2011/07/indonesia-tanpa-aceh.html#ixzz28yGeumym

Tidak ada komentar:

Posting Komentar