Dalam sejarah Aceh, tersebutlah nama Ali Mughayat Syah (1514-1530). Ia
merupakan sultan Aceh pertama yang memproklamirkan Kerajaan Islam Aceh
Darussalam pada 1 Ramadhan 1521 Masehi. Visi utamanya adalah menyatukan
kerajaan-kerajaan kecil seperti Peureulak, Samudera Pasai, Pedir,
Lamuri, dan Meureuhom Daya, menjadi kerajaan besar yang ia namakan
Kerajaan Islam Aceh Darussalam.
Tanggal tersebut kemudian
dikenang sebagai tanggal deklarasi pemberlakuan syariat Islam di Aceh.
Tapi masuknya Belanda pada 1873 disusul Jepang pada 1942 menyebabkan
pemberlakukan syariat Islam di Aceh tak bisa lagi dilaksankan secara
kafah. Para kolonialis tersebut mengobok-obok pelaksanaan syariat Islam
di Aceh. Hukuman dera sampai mati yang sedianya diterapkan kepada para
penzina atau pembunuh, diubah penguasa asing itu dengan hukuman buang,
sehingga terjadi anomali dalam penerapan syariat di Aceh.
Dalam
pada itu, banyak pula ulama yang dibunuh, kitab-kitab berbau Islam
dibakar, termasuk Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Hingga Belanda
dan Jepang angkat kaki di Aceh, penerapan syariat Islam yang
diberlakukan di sini adalah syariat yang sudah terkontaminasi oleh
intervensi penjajah.
Sampai akhirnya, pada 1 Muharam 2001,
Gubernur Aceh Abdullah Puteh meredeklarasikan pemberlakuan kembali
syariat Islam secara kafah di Aceh.
Dasar hukum pelaksanaan
syariat Islam di Aceh adalah UU Nomor 44 Tahun 1999 dan UU Nomot 18
Tahun 2001. Dalam UU Nomor 44 Syariat Islam didefinisikan sebagai semua
aspek ajaran Islam. Dalam UU Nomor 18 disebutkan bahwa Mahkamah
Syar’iyah akan melaksanakan syariat Islam yang dituangkan ke dalam qanun
atau peraturan yang dibuat oleh pemerintah di Aceh untuk melaksanakan
syariat Islam bagi pemeluknya di Aceh.
Selang setahun setelah
redeklarasi Aceh penerapan syariat Islam di Aceh, Pemerintah Provinsi
Aceh membentuk Dinas Syariat Islam. Dinas ini lahir pada tanggal 25
Januari 2002, bertepatan dengan saat dilantiknya Prof Dr Alyasa’
Abubakar MA memimpin DSI Aceh. Instansi ini dibentuk dengan Perda Nomor
33 Tahun 2001.
Dinas ini memiliki posisi sebagai perangkat
daerah merupakan unsur pelaksana Syariat Islam di lingkungan pemerintah
daerah. Dinas SI berperan untuk mewujudkan aktualisasi risalah Islam
secara menyeluruh dan universal, yaitu membangun dan mewujudkan
masyarakat Aceh yang taat kepada taat terhadap syariat Islam.
Tahun
2002 mulai diproduksi qanun-qanun syariat, di antaranya Qanun tentang
Maisir, Khamar, dan Khalwat. Hingga kini, qanun inilah yang terus
ditegakkan di tengah berbagai tantangan yang menghadang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar